about me / Bahasa Indonesia / Dutch Affairs / History / Indonesia / Thoughts

Jadi tamu di acara radio lokal

Tahun lalu, hari Rabu 9 Februari 2022 gw dapet pesan di WhatsApp dari satu temen orang Indonesia yang suka sejarah juga, dia lagi cari orang Indonesia yang suka sejarah dan tinggal di Arnhem untuk jadi narasumber di satu acara radio di sini. Gw bersedia. Keesokan harinya gw ditelpon redaksi radio ini dan dijelaskan acaranya apa. Jadi redaksi program radio Dijkstra en Evenblij ter plekke (Dijkstra & Evenblij di tempat) ini adalah dua presenter radio yang berkeliling Belanda tiap minggu. Tiap hari Minggu mereka akan siaran langsung dari satu tempat di kota atau desa yang mereka datangi. Untuk edisi siaran hari Minggu 13 Februari 2022 program ini akan siaran langsung dari Arnhem. Ada beberapa item yang akan dibahas salah satunya terbitnya laporan penelitian kekejaman ekstrim Belanda di Indonesia di tahun 1945 – 1949.

Hubungannya laporan ini dengan Arnhem adalahnya besarnya komunitas diaspora Indo-Belanda (keturunan Indo dan Belanda dan Indonesia). Redaksi mewawancara gw dan sejumlah kandidat lainnya lewat telpon. Semuanya orang Indonesia. Dalam wawancara seleksi tamu ini pertanyaannya seputar pendapat gw pribadi sebagai orang Indonesia tentang peran Belanda masa kolonial, perkembangan terakhir dsb…dsb…Besoknya, hari Jumat 10 Februari 2022 waktu gw di jalan untuk ke Rijksmuseum buat pembukaan pameran Revolusi! gw ditelpon jurnalis di redaksi tersebut. Dia bilang: “Ah Lorraine. Selamat, kamu kami lulus seleksi untuk jadi salah satu tamu di acara siaran langsung Dijkstra & Evenblij hari Minggu nanti”.

Pada hari Minggu itu gw hadir di kafe lokasi siaran langsungnya. Sebelum acara mulai, ada tes antigen (pertama dan terakhir kalinya di hidup gw waktu itu) untuk tes apakah gw mengidap Covid. Di ruang tunggu gw kenalan dengan ibu Stef Scagliola, sejarawan. Seru deh ngobrol dengan ibu Stef ini karena minatnya sama, sejarah. Dan dia peneliti sejarah secara akademis, lihat lamannya lewat link yang ada di atas. Sampe sekarang gw masih kontak dengan beliau dan sering tanya-tanya informasi. Nah, setelah giliran kami untuk duduk di meja dengan Dijkstra & Evenblij setelah pembicara sebelumnya, mulailah perbincangan kami yang berlangsung kurang lebih 15 menit. Kalau tertarik bisa lihat gw di sini. Wawancaranya full Bahasa Belanda.

Bu Stef menjelaskan latar belakang penelitian kekejaman ekstrim Belanda di Indonesia di tahun 1945 – 1949 secara ilmiah, bagaimana penelitian ini akhirnya bisa terlaksanakan antara lain karena tuntutan korban Rawagede yang dikabulkan hakim tahun 2011 dan terbitnya thesis Remy Limpach tentang kekerasan ekstrim militer Belanda di bawah pimpinan Jendral Spoor yang diterbitkan sebagai buku (gw udah baca). Untuk detilnya tentang ini gw akan cerita nanti di pos yang terpisah ya.

Di bagian gw bicara mulai dari detik 7:50 di video ini. Dijkstra: “Ibu Riva, bagaimana pandangan anda tentang sejarah kolonial Belanda di Indonesia menurut pandangan Belanda dan kami (orang Belanda) menyikapinya?” Gw: “Menurut saya beberapa tahun terakhir ini semakin marak diskusi tentang peran Belanda di Indonesia”. Gw cerita juga tentang pertama kali gw denger bahwa Indonesia harus bayar ganti rugi ke Belanda sebanyak 4,3 milyar Gulden setelah penyerahan kedaulatan (KMB tahun 1949) dan utang ini habis dibayar lunas sampai tahun 2003. Gw bilang: “Ini kan jahat ya, kok Belanda masih minta ganti rugi ke Indonesia padahal udah mengeruk kekayaan Indonesia”. Dijkstra (yang pake kacamata); “Wah gitu ya ceritanya. Saya baru denger ini waktu saya SMA ngga banyak informasi tentang ini”.

Untuk informasi, di buku sejarah dan narasi di media sebelum proses dekolonisasi mulai,di Belanda Clash I dan II itu disebut sebagai Politionele Actie I dan II. Lebih soft konotasi ini kesannya, tetapi narasi ini berubah dan salah satu yang gw sebut di acara radio ini. Beda narasi, beda efek. Kemudian kami bahas film De Oost/The East dan hubungannya dengan peristiwa sebenarnya di sana, bahwa veteran militer di Belanda menentang perang ini dan keberatan dengan peran mereka yang digambarkan sebagai the bad guys. Gw jawab: “Saya rasa peristiwa sebenarnya bisa jadi lebih kejam dan berdarah dibanding dengan apa yang difimkan’. Gw menutup waktu bicara gw dengan “Menurut saya cara pandang sejarah kolonial Belanda di Indonesia itu ada 4: menurut versi Belanda, Indo-Belanda, Maluku dan Indonesia. Kalian mau percaya versi yang mana. Pihak yang protagonis bisa berubah jadi antagonis menurut versi yang berbeda ini”.

Menurut Bu Stef sewaktu beliau tulis skripsinya dulu, metode penelitian yang dipake itu empiris, statistik. Peneliti masa itu hanya bisa menyatakan sesuai berdasarkan data statistik. Sekarang buku diterbitkan atas penelitian/analisa dari buku harian pelaku peristiwa sejarah tersebut (catatan: ini thesisnya Remy Limpach yang jadi pemicu penelitian besar-besaran ini). Tahun 2020 gw pernah ngetwit tentang ini.

Beberapa hari setelah partisipasi gw di podcast ini, Kamis 17 Februari 2023 laporan penelitian kekejaman ekstrim Belanda di Indonesia di tahun 1945 – 1949 resmi diterbitkan. Di hari yang sama PM Belanda, Mark Rutte meminta maaf berdasarkan temuan penelitian ini. Untuk infonya bisa baca link dalam bahasa Inggris di The Guardian. Penelitian ini juga melibatkan tim sejarawan dari UGM di Indonesia. Untuk yang minat dan tertarik baca, bisa tengok websitenya NIOD.

Sebagai orang Indonesia tinggal di Belanda yang juga suka dengan sejarah dan mengikuti perkembangan proses dekolonisasi di Belanda pada khususnya, gw senang dan merasa mendapat kehormatan diberi kesempatan untuk ikut menyumbang pandangan dalam acara radio tersebut. Kalau gw ngga males, ada sih niatnya, akan gw tulis menurut linimasa berurutan langkah apa yang pemerintah Belanda ambil sampai saat ini dan akan diterapkan dalam proses dekolonisasi. Bukan hanya ke Indonesia permintaan maaf ini tapi juga untuk bekas koloni mereka lainnya. Terima kasih yang udah baca pos ini ya. Sampai pos sejarah selanjutnya!

Foto koleksi: NIMH

Tell me what you think