Dari 11 Februari sampai 5 Juni 2022 di Rijksmuseum ada pameran yang menarik; pameran tentang Revolusi! Indonesia merdeka (Revolusi! Indonesie onafhankelijk). Gw beruntung diundang oleh oom Amir Sidharta, salah satu kurator tamu dari Indonesia untuk datang ke acara pembukaan pameran ini. Panitia kirim email akhir Desember dengan save the date dan info bahwa walaupun lockdown (Belanda lockdown gelombang ke empat delta/omikron dari 12 november 2021 sampai 25 januari 2022) pameran tetap akan berlangsung. Akhirnya setelah lockdown berakhir dan pameran dibuka tanggal 10 Februari untuk undangan, gw datang lah hari itu dengan suami ke Rijksmuseum.

Pameran Revolusi! (dengan tanda kutip) Indonesia merdeka ini istimewa karena disusun oleh beberapa kurator dari Belanda dan 2 kurator tamu dari Indonesia, oom Amir Sidharta (kurator, auctioneer, direktur Museum Lippo Jakarta ) untuk koleksi seni dan Bonnie Triyana (sejarawan) untuk bagian sejarahnya. Revolusi! Indonesia merdeka menyajikan informasi mulai dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta hingga perjanjian meja bundar dan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia tahun 1949.
Polemik Bersiap
Yang lebih menarik lagi, isi pameran ini adalah sejarah perang kemerdekaan RI dari sudut pandang Indonesia bukan dari sudut pandang Belanda. Beberapa minggu sebelum pameran dibuka, ada polemik di Belanda karena tulisan Bonnie Triyana dimuat di NRC Handelsblad yang menjelaskan bahwa istilah Bersiap (perburuan orang keturunan Indo-Belanda, Belanda dan Cina di Indonesia setelah proklamasi) bermuatan konotasi rasistis terhadap orang Indonesia, karena itu diusulkan supaya istilah ini tidak dipakai di pameran Revolusi!. Reaksi keras muncul dari keturunan Indo-Belanda dan orang Belanda keturunan korban masa Bersiap ini. Mereka melihat usul ini sebagai penyangkalan sejarah. Sehari setelah terbitnya artikel tersebut direktur Rijksmuseum menyatakan bahwa istilah Bersiap tetap akan ada di pameran ini. Sayangnya kesempatan untuk berdialog tidak ada, sampai federasi Indo-Belanda menuntut resmi sejarawan Indonesia ke pengadilan. Berita terakhir tanggal 9 Februari 2022: laporan polisi dari federasi ini tidak berlanjut, hakim memutuskan untuk tidak melanjutkan laporan ini sampai ke pengadilan.
Catatan: Sebagai orang Indonesia yang suka sejarah dan menikah dengan seorang Indo-Belanda, gw paham sudut pandang Bonnie Triyana dan memang ada konotasi rasistis di dalam istilah Bersiap ini namun di sisi lain gw mengerti reaksi keras orang Indo-Belanda dan Belanda di sini karena yang mereka dengar dari kakek-nenek dan orang tua mereka turun-temurun fokus cerita ‘hanya’ (dalam tanda kutip ya) di betapa kejamnya para pemoeda ke keluarga mereka. Di dalam tulisannya sejarawan Indonesia ini menjelaskan bahwa ada juga orang Indonesia yang jadi korban kekejaman ekses masa setelah revolusi tersebut tetapi tampaknya keturunan korban periode Bersiap ini yang sekarang tinggal di Belanda (orang Indo-Belanda, Belanda, Maluku dan Cina dari Hindia-Belanda) seperti tidak (mau) tahu akan hal ini. Memang (pemahaman) sejarah itu kadang subyektif, ada beberapa versi dari satu peristiwa dalam sejarah. Versi mana yang dipercaya, oleh pihak mana itu relatif. Ini pernyataan gw tanpa menafikkan muatan dalam istilah Bersiap itu ya.
Isi pameran
Dalam pameran Revolusi! pengunjung dituntun melintasi periode perang kemerdekaan mulai setelah proklamasi hingga tahun 1949 lewat cerita para saksi sejarah, naskah, lukisan, grafitti, selebaran, foto-foto, berita di media bahkan film dari arsip. Pengunjung yang pinjam audio dan headset selain bisa mendengar penjelasaan narator tentang koleksi pameran. Selain itu dengan headset ada juga cerita 10 tokoh yang mengalami peristiwa Bersiap ini. Tertarik untuk baca, sila buka laman website Rijksmuseum ini. Khusus untuk Revolusi! informasinya ada dalam bahasa Indonesia selain dalam bahasa Belanda dan Inggris. Waktu ke Rijksmuseum ini gw hanya bawa telpon genggam. Ini foto-foto yang gw buat menurut route pameran.
Instalasi seni ini adalah artikel pertama yang tampil. Karya Timoteus Anggawan Kusno ini terinspirasi dari puisi Aku karya Chairil Anwar. Rijksmuseum pesan karya ini khusus untuk pameran Revolusi! Bagian bawah instalasi ini ada pigura-pigura emas dari lukisan-lukisan Belanda tahun 1600 – 1700. Interprestasi gw lihat instalasi ini: Ini simbol kuat yang mengacu bukan hanya ke lukisan adikarya seniman Belanda di Golden Age ini tapi juga ke kejayaan Belanda masa itu yang salah satu faktor suksesnya adalah eksploitasi mereka di koloninya, di antaranya Hindia-Belanda.


Pamflet/selebaran yang beredar setelah proklamasi yang dibuat oleh berbagai organisasi masyarakat, kumpulan agama untuk mendukung revolusi. Intel Belanda waktu itu rajin memantau dan mengumpulkan selebaran ini untuk pemetaan pergerakan gerilya RI.



Selebaran dari kaum petani dan kaum buruh. Ada juga selebaran dari PKI yang mendukung revolusi. Selagi berdiri di depan selebaran PKI ini, gw dihampiri oleh salah satu relawan Rijksmuseum yang menyapa gw dan kami bahas betapa sensitifnya info mengenai PKI di Indonesia. Pria ini bilang: “Saya penasaran misalnya pameran ini dibawa ke Indonesia, apa pendapat publik di sana melihat selebaran ini?”. Pertanyaan yang sama juga ada di kepala gw FYI.



Di dalam ruangan inilah dipamerkan koleksi tentang masa Bersiap. Ada benda-benda kepunyaan orang Indo-Belanda, Cina dan Belanda yang mengungsi ke Belanda dengan kapal laut setelah kejadian ini, cerita mereka dan film dari arsip. Informasi tentang Bersiap disampaikan dengan ringkas di salah satu papan di tembok.

Sekarang gw akan tampilkan beberapa foto lukisan/gambar yang ada di pameran ini ya. Ini lukisan cat air hitam putih karya Tony Rafty dengan obyek tentara Gurkha di Surabaya sewaktu pertempuran Surabaya bulan November 1945, setelah tewasnya Brigadir Inggris Mallaby. Pertempuran Surabaya tentu kita kenal sabagai hari pahlawan tanggal 10 November.

Pelukis Henk Ngantung mengabadikan Perjanjian Linggarjati tahun 1946 dalam seri gambarnya dari tinta hitam di atas kertas.



Dalam serbuan Clash kedua ke Yogyakarta Desember 1948 – Januari 1949 hingga beberapa bulan setelah itu, Mohammad Toha Adimijojo dan kawan-kawan sekelasnya diutus guru gambar mereka (pelukis ternama, Dullah) untuk mengabadikan peristiwa ini di jalan. Waktu itu usia Toha baru 11 tahun, kadang ia menggambar sketsanya sambil sembunyi-sembunyi supaya tidak mencurigakan di mata militer Belanda. Pagi dan siang Toha menggambar karyanya, malamnya ia menyerahkan karyanya yang selesai kepada Dullah. Kalau dipikir berani sekali ya bocah seusia itu berkarya di situasi yang bahaya.

Total jumlah yang Toha buat waktu itu ada 60 lukisan cat air. Dalam gaya dan dari sudut pandangnya, karya-karya Toha ini sangat menarik karena bercerita dan bernilai besar sebagai laporan pandangan dari saksi mata saat itu.


Salah satu lukisan mengesankan di pameran ini, la pièce de résistance adalah Pengantin Revolusi (The bride of revolution) karya Hendra Gunawan. Lukisan ini salah satu karya seni bertema revolusi di Indonesia yang terbaik yang pernah dibuat. Gunawan melukis prosesi pengantin di jalan tanah yang melewati sekolompok tentara. Pengantin wanita (bergaun kuning di tengah) membonceng di depan sepeda yang dibawa berjalan oleh suaminya yang mengenakan seragam militer. Pengantin di sini bisa diartikan sebagai negara Indonesia yang baru lahir. Lukisan ini dibuat tahun 1955 dan pertama kali dipamerkan di Hotel Des Indes tahun 1957. Selain Henri Gunawan ada juga karya Sudjojono, Affandi, Agus & Otto Djaya (gw suka karyanya Otto Djaya, sangat ekspresif!), Basuki Abdullah, Trubus dll.

Pameran ditutup dengan koleksi foto karya fotografer Perancis, Henri Cartier-Bresson yang mengabadikan suasana di Jawa – Tengah menjelang dan sesudah Belanda mengakui Indonesia merdeka tahun 1949. Cartier-Bresson ke Indonesia untuk membuat potret seri ini setelah sebelumnya berkunjung ke India dan Cina. Saat itu adalah periode kebangkitan di Asia di mana negara-negara baru lahir setelah merdeka dari penjajah mereka dan Cartier-Bresson ingin mengabadikan le moment décisif (moment yang menentukan) ini.


Letnan Kolonel Slamet Riyadi di Solo, di upacara serah terima kekuasaan Belanda 12 November 1949.

Reaksi media Belanda
Dari sekitar 200 barang yang ada di pameran ini, sebagian besar adalah koleksi pribadi dan koleksi instansi di Indonesia yang didatangkan langsung khusus untuk ini. Sehari sebelum dan di hari pembukaan pameran ini, beberapa situs berita Belanda memuat artikel tentang pameran ini dengan judul: pameran di Rijksmuseum dengan barang jarahan. Sila tengok artikel tentang ini di NOS, Trouw, dan Nu.nl. Nu.nl menulis: Nederland heeft tijdens de Indonesische onafhankelijkheidsoorlog duizenden foto’s, armbanden en andere persoonlijke eigendommen van Indonesiërs in beslag genomen en in het geheim verscheept naar het Nationaal Archief. Yang artinya: Selama perang kemerdekaan Indonesia, Belanda menyita ribuan foto, gelang dan barang-barang pribadi orang Indonesia dan diam-diam mengirim ini semua ke Arsip Nasional Belanda. Catatan: sampai sekarang sebagian besar barang-barang ini masih ada di Arsip Nasional Belanda. Ada beberapa yang sudah dikembalikan ke ahli waris/keluarga si pemilik barang tersebut di Indonesia.

Sebagai orang Indonesia gw bangga pameran ini bisa terwujud dan diadakan di Belanda karena sudut pandang pameran ini dari pihak Indonesia. Bahkan pilihan tempat pameran ini, Rijksmuseum seperti simbolis karena museum ini adalah salah satu ikon kejayaan masa emas di Belanda yang nota bene bisa terjadi karena eksploitasi di koloni-koloninya. Di museum ini ada gallery of honor yang isinya adikarya Rembrandt (The Night Watch), The Milk Maidnya Vermeer, karyanya Jan Hals dsb. Gw lihat Revolusi! adalah bagian dari proses dekolonisasi di Belanda. Tentang proses dekolonisasi di sini, nanti gw cerita di pos terpisah ya. Cerita sejarah masih banyak, gw perlu waktu untuk susun tulisan. Nantikan terbitnya.
Setelah bertahun2 ngga ke Amsterdam dan pertama kali ke Amsterdam buat datang pameran ini, bener2 worth sih. Yang menarik, aku ngeliat perubahan dalam diriku saat datang ke pameran ini. Dulu pasti tertariknya sama narasi sejarahnya. Sekarang yang menarik buatku malah desain poster, propaganda, dan foto2nya. Hehehe…
Perang selain milik pemenangnya, memang tidak pernah ada yang manis…sempat merasakan perbedaan cara pandang sejarah itu saat mengambil mata kuliah itu di Barat. Menarik sih, masing-masing punya versinya sendiri. Seperti melihat dari kaca mata mereka…
masih menyerap langkah Bonnie yang masih konsisten di pelurusan sejarah Indonesia. Dan salut juga, dengan gaya pendokumentasian pameran ini.
Seperti tidak perlu kesana, dan sudah terwakilkan dengan reportase saudari.
Luar biasa
dan
terima kasih.
Fabolous! Thanks for sharing!
membuat pameran tentang revolusi kemerdekaan indonesia dengan sudut pandang sajarah indonesia. salut sih… andai bisa melihat kesana langsung… thanks sudah membagikan momen ini sehingga kita bisa ikut menikmatinya…👍
Pingback: Jadi tamu di acara radio lokal | Chez Lorraine