about me / Bahasa Indonesia / Social Media / Thoughts

Sebulan di Clubhouse

Hari ini persis sebulan gw ada di Clubhouse, satu audio chat app yang sampe sekarang hanya bisa diakses oleh pemakai iPhone dan untuk bisa buat akun di sini masih berdasarkan undangan. Di Clubhouse pengguna bisa memulai satu kamar (room, chat group), sendiri atau dengan akun lain. Akun yang lihat kamar ini bisa gabung sebagai pendengar. Misalnya ada sesi tanya jawab atau di tengah bahasan, pendengar bisa mengacungkan tangan untuk tanya atau ikut bicara.

Sekarang gw akan berbagi pengalaman dan pengamatan gw ya. Di minggu pertama gw di sana (awal Februari) sewaktu Clubhouse booming karena Elon Musk ngetwit tentang ini, gw masih cari-cari celah gimana enaknya pake app ini. Clubhouse itu media sosial terakhir dan terbaru buat gw sampe gw bikin akun. Menarik untuk lihat sebagian besar akun di app ini bionya professional seperti CV mereka di LinkedIn. Terus gw jadi mikir, apa karena Clubhouse ini masih baru jadi kebanyakan akun di situ early adopters?

Bio gw sendiri setelah kosong 2 mingguan akhirnya terisi dengan Je vous écoute (I listen to you). Ini memang tujuan utama gw setelah lihat dinamikanya bagaimana. Sejauh ini iritasi gw di Clubhouse sama seperti kalau rapat di kantor: orang yang ngomongnya lelet, orang yang kebanyakan tanya, orang yang ngomongnya off topic 🙂 Kalau udah ketemu yang begini, gw langsung keluar dari room tersebut. Ada juga kamar yang banyak pembicara mikrofonnya on, dan ngomong berbarengan, berisik dengernya. Biasanya gw juga cabut dari kamar yang berisik gitu.

Di situasi seperti ini peran moderator yang tegas penting banget. Ngga semua moderator bisa begini tapi tergantung tujuannya mereka start satu room sih. Kalau hanya untuk ngobrol sama temen-temennya sambil didengerin orang lain, silakan aja. Ada juga moderator di beberapa kamar yang starstruck lihat akun orang terkenal join dan langsung daulat akun tersebut untuk jadi pembicara padahal mungkin akun orang terkenal itu hanya mau dengar dulu. Sebaliknya juga ada akun orang terkenal yang bicara terus dan panjang kadang off topic.

Salah satu hal yang menurut gw bisa jadi batu sandungan untuk pengguna Clubhouse itu kurang hati-hati. Dengan karakteristiknya app suara ini, orang mungkin bisa terbawa suasana atau lupa kalau lagi ngobrol sama temennya di satu room sampe bahas hal-hal yang umum sebetulnya ngga perlu tahu. Ada yang sepertinya keceplosan tentang ini, ada yang sengaja bahas ini juga, contohnya: beberapa influencers yang ngobrol tentang agency yang ngga layak untuk diajak kerja sama berdasarkan pengalaman mereka dan sebaliknya, agency yang bahas influencers yang ngga bonafide cara kerjanya. Ini buat gw sih tabu, kita kan ngga tahu siapa yang denger ini, makanya gw ngga bahas tentang pekerjaan gw atau berbagi info pribadi lainnya.

Yang bikin Clubhouse menarik itu karena bisa denger suara orang, ini bikin jadi personal. Semua room itu realtime, langsung. Untuk join dan dengerin satu room itu enak aja sih buat gw, karena dapet ilmu atau insights baru dari topik tertentu. Mau dengerin room receh juga ok aja. Untuk mulai satu room buat gw pribadi ada persiapannya karena room itu realtime, bahas topik tertentu gw harus siap-siap dengan baca-baca tentang topik tertentu. Ya, gw rutin ada room vrijmibo (vrijdagmiddagborrel, TGIF cocktail hour) untuk orang Indonesia di Belanda, tiap Jumat jam 16.30 CET. Tiap Sabtu 16.00 CET gw bahas beberapa topik yang ada di kalangan orang Indonesia di luar negri dengan temen-temen blogger Ailsa & Christa. Ini obrolan lintas negara bahkan benua karena gw tinggal di Belanda, Ailsa di Irlandia dan Christa di USA.

Nah, perbedaan zona waktu itu yang kadang jadi penghambat juga untuk ikut kamar-kamar menarik di Clubhouse. Dua minggu lalu gw bela-belain bergadang untuk dengerin room para chefs di USA & Amerika Tengah dan Selatan bahas decolonizing food. Seru! Sehari-hari gw dengerin Ochtendclub (klub pagi) tiap hari kerja jam 8 – 9 pagi. Ini menarik karena topiknya variatif, pembicara ganti-ganti, tiap 10 – 15 menit terakhir ada Q&A dan moderatornya strict. Malam juga kadang gw gabung di room komunitas Maghreb, art, food, film, travel, language di Inggris, Perancis, Belgia atau Belanda untuk tahu issue-issue yang mereka bahas.

Momentum boomingnya Clubhouse selagi pandemi, orang semua di rumah aja, ngga ada kontak sosial IRL. Ini salah satu faktor penentu perkembangan pesat app ini untuk jumlah penggunanya diantara para early adopters. Nanti kalau pandemi selesai Clubhouse arahnya kemana ya? Kapan akan mulai ada konten berbayar? Gw ngga keberatan bayar untuk bisa masuk kamar yang bagus di sini, sama dengan gw ngga keberatan bayar untuk langganan podcast atau langganan baca artikel di beberapa sites. Misalnya influencers mulai masuk dan monetisasi, yang diendorse/dibuzz apa? Gimana dengan aplikasi AI, mungkinkah bisa filter suara jadi kedengeran lebih bagus? Harus seautentik kaya apa orang di Clubhouse supaya bisa jadi otoritas? Apa Clubhouse lebih tepat untuk KOL dibanding influencers atau endorsers? Ini semua pertanyaan gw berdasarkan tinjauan bahwa ngga semua orang bisa jadi pendengar yang baik, mungkin karena ngga bisa konsentrasi denger lama atau memang cepet bosen aja orangnya.

Sejauh ini gw belum ketemu room dengan topik pornografi atau trolls sih di app ini tapi ngga lama pasti akan ada ini. Apakah Clubhouse sebagai pemain kecil di lanskap media sosial yang besar ini siap mengatasi ini? Apalagi ngga lama setelah Clubhouse booming, Twitter muncul dengan fitur yang mirip, namanya Spaces. Di Twitter penggunanya dari semua jenis baik iPhone maupun Android. Apakah nantinya Clubhouse akan jadi niche?

Banyak ya pertanyaan gw ha..ha.. Ok. Sementara ini, gw masih suka untuk gabung ke beberapa kamar yang bahasannya menarik. Sebulan di Clubhouse gw dapet beberapa kenalan baru. Untuk gw Clubhouse itu salah satu media sosial buat casual networking. Inget, Mau apapun media sosialnya kalau kita jelas tujuannya apa punya akun di media sosial tersebut, loe yang tetap pegang kendali efek media sosial ini ke diri sendiri.

4 thoughts on “Sebulan di Clubhouse

  1. Mbak Yo, aku udah denger yang nyerempet-nyerempet seksual, termasuk yang seksualising perempuan di dalam grup itu. Goda-godain yang model becanda-becanda tapi buat aku gak lucu banget.

    Sebagai bekas Content Moderator, kalau udah denger kayak gitu rasanya udah pengen pencet, report.

  2. Aku udah sebulan juga nih pakai Clubhouse. Kalau pertanyaan2 mbak Yoyen lebih ke arah “ke luar” (fokusnya tentang masa depan Clubhouse, possible upgrades, kapan bakal ada konten berbayar), Clubhouse malah jadi tempat introspeksi untukku, karena sebagai introvert aku baru menyadari bahwa media sosial ini beneran berisik dan aku lebih suka masuk room yang kontennya dibatasi waktu dan tema.

Leave a reply to Tjetje [binibule.com] Cancel reply